Etu Warisan Budaya Nagekeo yang Tak Lekang Oleh Waktu.



 Upacara tinju adat (etu) merupakan warisan dari para leluhur sejak dahulu kepada orang Ngada dan Nagekeo, secara khusus kepada orang Nagekeo suku Tutu Badha. Suku Tutu Badha sendiri melakukan upacara ini dengan upacara yang disebut tinju besar yang biasa juga disebut buku ada atau buku adat.Pertandingan Etu mirip dengan tinju konvensional, namun hanya digelar pada musim panen bagi orang Nagekeo, yaitu Juni hingga Juli.Ketua Suku Deu di Kampung Adat Boawae, Marselinus F Ajo Bupu kepada victorynews.id menyampaikan, jika tinju konvensional boleh dilakukan kapan dan dimana saja, namun etu hanya boleh dilakukan pada bulan Juni-Juli sebab dalam kalender adat, bulan tersebut merupakan masa panen.

"Dan etu adalah bagian yang integral di dalam rangkaian adat mulai dari menanam hingga memanen. Dari Etu, kita bisa mengetahui ke depan hasil panen kita berlimpah atau tidak," jelasnya.Caranya kalau peserta etunya (tinju) berdarah dalam setiap pertandingan berarti hasil panen kita ke depan bisa membaik, namun jika ada peserta etunya selama pertandingan tidak ada yang berdarah berati hasil panen menurun atau kurang baik.

Marselinus menyampaikan, tak jarang dalam pertandingan Etu banyak darah tertumpah di atas tanah kampung Raja Boawae.

Banyak petarung yang mengalami luka serius di bagian wajah, namun luka tersebut akan segera sembuh dengan sekali usapan dari sang ketua adat.

Malam sebelum digelar Etu, diadakan pertunjukan seni musik dan tari yang dalam bahasa Boawae menyebutnya Kobe Dero.Sejatinya Etu mengekspresikan kegembiraan, kebahagiaan, sukacita, semangat dan kesaktriaan dari para Hoga Nage (Pria Tangguh dari Boawae)

Komentar